Sabtu, 28 Februari 2015

Tempat yang pernah saya kunjungi

1. Kangen
2. Lembah Harau
3. Danau Toba
4. Jam Gadang
5. Lubang Jepang
6. Lembah Anai
7. udah itu aja

Kota yang pernah saya kunjungi

1. Medan
2. Pekanbaru
3. Padang
4. Bukittinggi
5. Payakumbuh
6. Dumai
7. Duri

Pelajaran yang saya sukai :

1. Matemmatika
2. IPA
3. B.Indonesia
4. B.Inggris

Tipe cowo yang saya suka :

1. Baik
2. Cakep bukan Ganteng
3. gak kayak GGS
4. Sopan
5. Bersih
6. No Smoking

tipe teman yang saya suka :

1. baik sama aku
2. sopan
3. gak PHO
4. gak Pemfitnah
5. gak mesti punya BBM
6. gak mesti punya hp

Kegiatan saya sehari hari :

1. belajar
2. Bantu mama
3. BBM'an
4. Smsan
5. Ngumpul sama teman
6. Sholat

Tempat warnet yang pernah saya kunjungi :

1. Rafa net
2. Pelangi net
3. Hesti net
4. Sumber net
5. Bintang net

Hp yang pernah saya beli :

1. Samsung
2. Iphone
3. Venera
4. Mito
5. Evercross
6. Axus
7. Nokia

Teman yang saya sukai :

1. Melliani
2. Putri Annisa
3. Meliza Kurnia
4. Mella Wulandarii
5. Murni 
6. dan banyak lagi

Biodata aku :)

Nama           : Novitma Sari ( Nopi)
TTL             : Duri , 10 Februari 2000
Tempat Tgl  : Di jl.Bengkalis,Duri
Sekolah       : SMP N 2 Mandau
Kelas           : IX

kalo mau tau lebih jelas , ni facebook aku ;)
FB : Novitma Sari

Kamis, 26 Februari 2015

Menapaki Perjalanan Yahudi Merebut Palestina

palestine-flag
Pada 14 Mei 1948, kaum Yahudi memproklamirkan berdirinya negara Israel. Dengan kemerdekaan ini, cita-cita orang orang Yahudi yang tersebar di berbagai belahan dunia untuk mendirikan negara sendiri, tercapai. Mereka berhasil melaksanakan “amanat” yang disampaikan Theodore Herzl dalam tulisannya Der Judenstaat (Negara Yahudi) sejak 1896. Tidaklah mengherankan jika di tengah-tengah negara-negara Timur Tengah yang mayoritas menganut agama Islam, ada sekelompok manusia yang berkebudayaan dan bergaya hidup Barat. Mereka adalah para imigran Yahudi yang didatangkan dari berbagai negara di dunia karena mengalami pembantaian oleh penguasa setempat. Mereka dibenci di beberapa belahan dunia karena kebanyakan memiliki perangai buruk dan licik di balik kejeniusan mereka.
Kaum Yahudi memilih Palestina sebagai tempat bermukim karena merasa memiliki keterikatan historis. Akibat pembantaian yang diderita, mereka merasa harus mencari tempat yang aman untuk ditempati. Oleh Inggris mereka ditawarkan untuk memilih kawasan Argentina, Uganda, atau Palestina untuk ditempati. Tapi Herzl lebih memilih Palestina. Herzl adalah The Founding Father of Zionism. Dia menggunakan zionisme sebagai kendaraan politiknya dalam merebut Palestina. Kemampuannya dalam melobi para penguasa dunia tidak diragukan lagi. Sederetan orang-orang terkenal di dunia seperti Ratu Victoria Inggris, Paus Roma, Kaisar Wilhelm Jerman, dan Sultan Turki di Istambul telah ditaklukkannya. Zionisme adalah otak dalam perebutan wilayah Palestina dan serangkaian pembantaian yang dilakukan Yahudi.
Dengan berdatangannya bangsa Yahudi ke Palestina secara besar-besaran, menyebabkan kemarahan besar penduduk Palestina. Gelombang pertama imigrasi Yahudi terjadi pada tahun 1882 hingga 1903. Ketika itu sebanyak 25.000 orang Yahudi berhasil dipindahkan ke Palestina. Mulailah terjadi perampasan tanah milik penduduk Palestina oleh pendatang Yahudi. Bentrokan Kemudian gelombang kedua pun berlanjut pada tahun 1904 hingga 1914. Pada masa inilah, perlawanan sporadis bangsa Palestina mulai merebak.
Berdasarkan hasil perjanjian Sykes Picot tahun 1915, secara rahasia dan sepihak telah menempatkan Palestina berada di bawah kekuasaan Inggris. Dengan berlakunya sistem mandat atas Palestina, Inggris membuka pintu lebar-lebar untuk para imigran Yahudi dan hal ini memancing protes keras bangsa Palestina. Aksi Inggris selanjutnya adalah memberikan persetujuannya melalui Deklarasi Balfour pada tahun 1917 agar Yahudi mempunyai tempat tinggal di Palestina.
Pada tahun 1947 mandat Inggris atas Palestina berakhir dan PBB mengambil alih kekuasaan. Resolusi DK PBB No. 181 (II) tanggal 29 November 1947 membagi Palestina menjadi tiga bagian.Hal ini mendapat protes keras dari penduduk Palestina. Mereka menggelar demonstrasi besar-besaran menentang kebijakan PBB ini. Lain halnya yang dilakukan dengan bangsa Yahudi. Dengan suka cita mereka mengadakan perayaan atas kemenangan besar ini. Bantuan dari beberapa negara Arab dalam bentuk persenjataan perang mengalir ke Palestina. Saat itu pula menyusul pembubaran gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir dan pembunuhan terhadap Hasan al-Banna yang banyak berperan dalam membela Palestina dari cengkraman Israel.
Apa yang dilakukan Yahudi dalam merebut Palestina tidaklah terlepas dari dukungan Inggris dan Amerika. Berkat dua negara besar inilah akhirnya Yahudi dapat menduduki Palestina secara paksa walaupun proses yang harus dilalui begitu panjang dan sulit. Palestina menjadi negara yang tercabik-cabik selama 30 tahun pendudukan Inggris. Sejak 1918 hingga 1948, sekitar 600.000 orang Yahudi diperbolehkan menempati wilayah Palestina. Penjara-penjara dan kamp-kamp konsentrasi selalu dipadati penduduk Palestina akibat pemberontakan yang mereka lakukan dalam melawan kekejaman Israel. Tahun 1956, Gurun Sinai dan Jalur Gaza dikuasai Israel. Kemudian pada tahun 1967, semua kawasan Palestina jatuh ke tangan Israel. Peristiwa itu terjadi setelah penggempuran terhadap Gerakan Islam dan hukuman gantung terhadap Sayyid Qutb yang amat ditakuti kaum Yahudi.
Pada Desember 1987, perjuangan rakyat Palestina terhimpun dalam satu kekuatan setelah sekian lama melakukan perlawanan secara sporadis terhadap Israel. Gerakan Intifadhah telah menyatukan solidaritas rakyat Palestina. Intifadhah merupakan aksi pemberontakan massal yang didukung massa dalam jumlah terbesar sejak tahun 1930-an. Sifat perlawanan ini radikal revolusioner dalam bentuk aksi massal rakyat sipil Untuk tetap bertahan dalam skema transformasi masyarakat yang menghindari aksi kekerasan, maka atas prakarsa Syekh Ahmad Yassin dibentuklah HAMAS (Harakah al-Muqawwah al-Islamiyah) pada bulan Januari 1988, sebagai wadah aspirasi rakyat Palestina yang bertujuan mengusir Israel dari Palestina, mendirikan negara Islam Palestina, dan memelihara kesucian Masjid Al-Aqsha. Perlawanan terhadap Israel semakin gencar dilakukan dan mengakibatkan kerugian material bagi Israel berupa kehancuran pertumbuhan ekonomi, penurunan produksi industri dan pertanian, serta penurunan investasi. Kerugian lainnya yaitu hilangnya ketenangan dan rasa aman bangsa Israel.
Hingga hari ini Israel masih berdiri kokoh di atas bumi Palestina. Saudara kita, penduduk asli Palestina, demikian tersiksa dan tidak memiliki masa depan yang jelas. Para pemuda Islam terus melakukan perlawanan, baik secara fisik dengan intifadhah-nya maupun dengan lobi-lobi di seluruh dunia. Layakkah perlawanan para pemuda ini disebut teroris? Bagaimana jika tiba-tiba kaum Yahudi dengan segala kekuatan, kejeniusan, dan propagandanya pindah ke bumi Indonesia, kemudian perlawanan bangsa kita terhadapnya disebut teroris? Mari kita perbanyak doa’ buat umat Muslim yang tertindas di bumi Allah, dimanapun mereka berada. Semoga Allah menguatkan mereka dan memberikan mereka kemenangan dunia dan akhirat, aamiin.

Khutbah Imam Katolik Yang Menggemparkan

DMITRIV SMIRNOV
Seorang Imam Besar Katolik Ortodoks, Dmitri Smirnov, menyampaikan sebuah khutbah gereja yang menggemparkan di depan ratusan jemaatnya.
Dia mengatakan masa depan Rusia akan menjadi milik pemeluk Islam. Berikut ini ceramahnya kepada jemaatnya sebagaimana Muslimina beritakan:
Kalian lihat, ketika umat Islam merayakan hari besar keagamaannya, tidak satu pun orang yang berani melewati mereka, karena di seluruh dunia di masjid-masjid dan jalan-jalan kota di padati jutaan ribu umat Islam yang sedang bersujud kepada Tuhannya.
Saksikanlah, barisan jutaan umat manusia yang beribadah dengan sangat teratur dan mengikuti shaf mereka masing-masing, dan hal itu tidak perlu diajarkan. Mereka berbaris dengan tertib tanpa harus di perintah.
Lalu dimana kalian bisa melihat pemeluk Kristen seluruh dunia, bisa beribadah bersama? Dan hal itu tidak ada dalam Kristen, kalian tidak akan pernah melihatnya.
Lihatlah mereka, orang Muslim kerap membantu dengan sukarela tanpa berharap imbalan, tapi pemeluk Kristen malah sebaliknya.
Kalian tanyakan pada wanita tua itu (sambil menunjuk wanita yang lumpuh yang berada di gerejanya). Menurut wanita tua itu, seorang pengemudi Muslim sering menyediakan jasa transportasinya untuk mngantarnya ke gereja di Moskow.
Dan setiap wanita tua itu ingin memberinya upah, tapi pengemudi Muslim selalu menolaknya dengan alasan bahwa Islam melarang mengambil upah pada wanita lansia, jompo, dhuafa dan anak-anak yatim di berbagai panti dan yayasan.
Dengarkanlah persaksiannya, padahal wanita tua itu bukan ibu atau kerabatnya, tapi pengemudi Muslim mengatakan dalam Islam wajib menghormati orang yang lebih tua, apalagi orang tua yang lemah dan tak berdaya tersebut.
Keikhlasan pribadi pengemudi Muslim tersebut tidak ada ditemukan dalam pemeluk Kristen yang mengajarkan kasih, tapi pengemudi Kristen bisa tanpa belas kasih meminta upah atas jasa transportasinya pada wanita tua itu. Dia mengatakan layak mendapat upah karena itu adalah profesinya sebagai jasa transportasinya.
Seorang Muslim justru lebih dekat dengan Sang Mesiah, tapi orang Kristen hanya ingin uang. Apakah kalian tidak merasakan?
Bagaimana dalam prosesi penebusan dosa, siapa saja harus membayar kepada pendetamu, entah itu miskin atau manula, wajib memaharkannya sebagai ritual pengampunan dosa.
Saksikan juga, seorang Muslim tidak tertarik untuk mngambil upah pada orang-orang lansia. Mereka begitu ikhlas dengan sukarela membawakan barang-barang serta belanjaan wanita tua itu. Sampai sang wanita tua itu hendak berdoa ke gereja, sang pengemudi Muslim setia antar jemput wanita tua itu.
Inilah kenapa saya mengatakan masa depan Rusia akan menjadi milik mayoritas pemeluk Islam dan negeri ini akan mnjadi milik Islam. Kalian lihat pribadi yang berbudi luhur dan santun, mampu membuat dunia tercengang, ternyata akhlak Muslim lebih mulia daripada jemaat Kristen.
Kalian mendengar bahwa Islam dituduhkan sebagai agama teroris, tapi itu hanya isu belaka yang pada kenyataannya umat Islam lebih mengedepankan tata krama serta kesopanan.
Walau mereka di fitnah sebagai teroris, tapi populasi jumlah mualaf di Eropa dan Rusia makin ramai berdatangan ke tempat ibadah orang Muslim untuk memeluk Islam, karena para mualaf tahu betul bahwa Islam tidak sekejam yang dunia tuduhkan.
Sekarang dan selamanya, masa depan Rusia akan menjadi milik umat Islam. Di masa depan adalah kembalinya kejayaan Islam. Lihat populasi Muslim di Rusia, telah berjumlah 23 juta dan pemeluk Kristen mngalami penurunan menjadi 18 juta, lalu sisa yang lainnya masih tetap komunis.
Ini sebuah fakta bahwa Islam sekarang menjadi agama terbesar di Rusia. Di utara bekas pecahan negara Uni Soviet mayoritas Muslim yaitu Republik Chechnya, Tarjikistan, Kajakhstan, Uzbeckistan dan Dagestan. Lalu umat Islam telah menjamah di kota-kota besar Rusia termasuk Moskow.
Imam Besar mengakhiri khutbahnya dan turun ke mimbarnya dengan mata yang berair, di mana para jemaatnya masih trpaku dan haru, tidak menyangka seorang Imam Besar Katolik bisa mengagungkan orang Muslim.
Sebagian jemaat ada yang menangis melihat cara ajaran Islam, ternyata berbudi luhur dan tidak layak di sebut “teroris”.

Menggunakan Logika untuk mencapai keimanan

sholat malam
Mencapai Keimanan Dengan Logika
Keimanan adalah keyakinan, yang dalam Islam wajib dicapai dengan penuh kesadaran dan pengertian, karena hanya dengan inilah kesetiaan tunggal pada Islam (tauhid) bisa diharapkan, seperti halnya seorang fisikawan yang telah yakin akan keakuratan instrumennya, sehingga ia pun segera berbuat sesuatu, begitu instrumen itu mengabarkan existensi radiasi atom yang tidak pernah bisa dideteksi oleh indera fisikawan itu sendiri.
Fitrah manusia
Sejak adanya manusia, manusia memiliki berbagai ciri-ciri (fitrah) yang membedakannya dari mahluk lain. Manusia memiliki intuisi untuk memilih dan tidak mau menyerah pada hukum-hukum alam begitu saja. Manusia bisa mengerjakan sesuatu yang berlawanan dengan nalurinya, misal makan meski sudah kenyang (karena menghormati tuan rumah), atau tidak melawan meski disakiti (karena menjaga perasaan orang). Hal ini tidak ada pada binatang. Seekor kucing yang sudah kenyang tak mau lagi mencicipi makanan yang enak sekalipun.
Manusia memiliki kemampuan mewariskan kepada manusia lain (atau keturunannya) hal-hal baru yang telah dipelajarinya. Inilah asal peradaban manusia. Hal ini tidak terdapat pada binatang. Seekor kera yang terlatih main musik dalam circus tidak akan mampu melatih kera lainnya. Seekor kera hanya bisa melatih seekor anak kera pada hal-hal yang memang nalurinya (memanjat, mencari buah).
Kesamaan manusia dengan binatang hanya pada kebutuhan eksistensialnya (makan, minum, istirahat dan melanjutkan keturunan).
Manusia mencari hakekat hidupnya
Manusia yang telah terpenuhi kebutuhan eksistensialnya akan mulai mempertanyakan, untuk apa sebenarnya hidup itu. Hal ini karena manusia memiliki kebebasan memilih, mau hidup atau mati. Karena faktor non naluriahnya, manusia bisa putus asa dan bunuh diri, sementara tidak ada binatang yang bunuh diri kecuali hal itu dilakukannya dalam rangka mempertahankan eksistensinya juga (pada lebah misalnya).
Pertanyaan tentang hakekat hidup ini yang memberi warna pada kehidupan manusia, yang tercermin dalam kebudayaan, yang digunakannya untuk mencapai kepuasan ruhaninya.
Manusia membutuhkan Tuhan
Dalam kondisi gawat yang mengancam eksistensinya (misalnya terhempas ombak di tengah samudra, sementara pertolongan hampir mustahil diharapkan), fitrah manusia akan menyuruh untuk mengharapkan suatu keajaiban.
Demikian juga ketika seseorang sedang dihadapkan pada persoalan yang sulit, sementara pendapat dari manusia lainnya berbeda-beda, ia akan mengharapkan petunjuk yang jelas yang bisa dipegangnya. Bila manusia tersebut menemukan seseorang yang bisa dipercayainya, maka dalam kondisi dilematis ini ia cenderung merujuk pada tokoh idolanya itu.
Dalam kondisi seperti ini, setiap manusia cenderung mencari “sesembahan”. Mungkin pada kasus pertama, sesembahan itu berupa dewa laut atau sebuah jimat pusaka. Pada kasus kedua, “sesembahan” itu bisa berupa raja (pepunden), bisa juga berupa tokoh filsafat, pemimpin revolusi bahkan seorang dukun yang sakti.
Tanda-tanda eksistensi Tuhan
Di luar masalah di atas, perhatian manusia terhadap alam sekitarnya membuatnya bertanya, “Mengapa bumi dan langit bisa sehebat ini, bagaimana jaring-jaring kehidupan (ekologi) bisa secermat ini, apa yang membuat semilyar atom bisa berinteraksi dengan harmoni, dan dari mana hukum- hukum alam bisa seteratur ini”.
Pada masa lalu, keterbatasan pengetahuan manusia sering membuat mereka cepat lari pada “sesembahan” mereka setiap ada fenomena yang tak bisa mereka mengerti (misal petir, gerhana matahari). Kemajuan ilmu pengetahuan alam kemudian mampu mengungkap cara kerja alam, namun tetap tidak mampu memberikan jawaban, mengapa semua bisa terjadi.
Ilmu alam yang pokok penyelidikannya materi, tak mampu mendapatkan jawaban itu pada alam, karena keteraturan tadi tidak melekat pada materi. Contoh yang jelas ada pada peristiwa kematian. Meski beberapa saat setelah kematian, materi pada jasad tersebut praktis belum berubah, tapi keteraturan yang membuat jasad tersebut bertahan, telah punah, sehingga jasad itu mulai membusuk.
Bila di masa lalu, orang mengembalikan setiap fenomena alam pada suatu “sesembahan” (petir pada dewa petir, matahari pada dewa matahari), maka seiring dengan kemajuannya, sampailah manusia pada suatu fikiran, bahwa pasti ada “sesuatu” yang di belakang itu semua, “sesuatu” yang di belakang dewa petir, dewa laut atau dewa matahari, “sesuatu” yang di belakang semua hukum alam.
“Sesuatu” itu, bila memiliki sifat-sifat ini:
  1. Maha Kuasa
  2. Tidak tergantung pada yang lain
  3. Tak dibatasi ruang dan waktu
  4. Memiliki keinginan yang absolut
maka dia adalah Tuhan, dan berdasarkan sifat-sifat tersebut tidak mungkin zat tersebut lebih dari satu, karena dengan demikian berarti satu sifat akan tereliminasi karena bertentangan dengan sifat yang lain.
Tuhan berkomunikasi via utusan
Kemampuan berfikir manusia tidak mungkin mencapai zat Tuhan. Manusia hanya memiliki waktu hidup yang terhingga. Jumlah materi di alam ini juga terhingga. Dan karena jumlah kemungkinannya juga terhingga, maka manusia hanya memiliki kemampuan berfikir yang terhingga. Sedangkan zat Tuhan adalah tak terhingga (infinity). Karena itu, manusia hanya mungkin memikirkan sedikit dari “jejak-jejak” eksistensi Tuhan di alam ini. Adalah percuma, memikirkan sesuatu yang di luar “perspektif” kita.
Karena itu, bila tidak Tuhan sendiri yang menyatakan atau “memperkenalkan” diri-Nya pada manusia, mustahil manusia itu bisa mengenal Tuhannya dengan benar. Ada manusia yang “disapa” Tuhan untuk dirinya sendiri, namun ada juga yang untuk dikirim kepada manusia-manusia lain. Hal ini karena kebanyakan manusia memang tidak siap untuk “disapa” oleh Tuhan.
Utusan Tuhan dibekali tanda-tanda
Tuhan mengirim kepada manusia utusan yang dilengkapi dengan tanda-tanda yang cuma bisa berasal dari Tuhan. Dari tanda-tanda itulah manusia bisa tahu bahwa utusan tadi memang bisa dipercaya untuk menyampaikan hal- hal yang sebelumnya tidak mungkin diketahuinya dari sekedar mengamati alam semesta. Karena itu perhatian yang akan kita curahkan adalah menguji, apakah tanda-tanda utusan tadi memang autentik (asli) atau tidak.
Pengujian autentitas inilah yang sangat penting sebelum kita bisa mempercayai hal-hal yang nantinya hanyalah konsekuensi logis saja. Ibarat seorang ahli listrik yang tugas ke lapangan, tentunya ia telah menguji avometernya, dan ia telah yakin, bahwa avometer itu bekerja dengan benar pada laboratorium ujinya, sehingga bila di lapangan ia dapatkan hasil ukur yang sepintas tidak bisa dijelaskanpun, dia harus percaya alat itu. Seorang fisikawan adalah seorang manusia biasa, yang dengan matanya tak mungkin melihat atom. Tapi bila ia yakin pada instrumentasinya, maka ia harus menerima apa adanya, bila instrumen tersebut mengabarkan jumlah radiasi yang melebihi batas, sehingga misalnya reaktor nuklirnya harus segera dimatikan dulu.
Karena yakin akan autentitas peralatannya, seorang astronom percaya adanya galaksi, tanpa perlu terbang ke ruang angkasa, seorang geolog percaya adanya minyak di kedalaman 2000 meter, tanpa harus masuk sendiri ke dalam bumi, dan seorang biolog percaya adanya dinosaurus, tanpa harus pergi ke zaman purba.
Keyakinan pada autentitas inilah yang disebut “iman”. Sebenarnya tak ada bedanya, antara “iman” pada autentitas tanda-tanda utusan Tuhan, dengan “iman”-nya seorang fisikawan pada instrumennya. Semuanya bisa diuji. Karena bila di dunia fisika ada alat yang bekerjanya tidak stabil sehingga tidak bisa dipercaya, ada pula orang yang mengaku utusan Tuhan tapi tanda- tanda yang dibawanya tidak kuat, sehingga tidak pula bisa dipercaya.
Menguji autentitas tanda-tanda dari Tuhan
Tanda-tanda dari Tuhan itu hanya autentis bila menunjukkan keunggulan absolut, yang hanya dimungkinkan oleh kehendak penciptanya (yaitu Tuhan sendiri). Sesuai dengan zamannya, keunggulan tadi tidak tertandingi oleh peradaban yang ada. Dan orang pembawa keunggulan itu tidak mengakui hal itu sebagai keahliannya, namun mengatakan bahwa itu dari Tuhan !!!
Pada zaman Nabi Musa, ketika ilmu sihir sedang jaya-jayanya, Nabi Musa yang diberi keunggulan mengalahkan semua ahli sihir, justru mengatakan bahwa ia tidak belajar sihir, namun semuanya itu hanya karena ijin Tuhan semata.
Demikian juga Nabi Isa, yang menyembuhkan penyakit yang tidak bisa disembuhkan, meski masyarakatnya merupakan yang termaju dalam ilmu pengobatan pada masanya. Toh Nabi Isa hanya mengatakan semua itu karena kekuasaan Tuhan semata, dan ia bukan seorang tabib.
Dan Nabi Muhammad? Tanda-tanda beliau sebagai utusan yang utama adalah Al-Quran. Pada saat itu Mekkah merupakan pusat kesusasteraan Arab, tempat para sastrawan top mengadu kebolehannya. Dan meski pada saat itu semua orang takjub pada keindahan ayat-ayat Al-Quran yang jauh mengungguli semua puisi dan prosa yang pernah ada, Nabi Muhammad hanya mengatakan, ayat itu bukan bikinannya, tapi datangnya dari Allah.
Itu 14 abad yang lalu. Pada masa kini, ketika ilmu alam berkembang pesat, terbukti pula, bahwa kitab Al-Quran begitu teliti. Tidak ada ayat yang saling bertentangan satu sama lain. Dan tak ada pula ayat Al-Quran yang tidak sesuai dengan fakta-fakta ilmu alam.
Di sisi lain, fenomena pembawa ajaran itu juga menunjukkan sisi autentitasnya. Meski mereka:
  • orang biasa yang tidak memiliki kekuatan dan kekuasaan, juga tidak join dengan penguasa atau yang bisa menjamin kesuksesannya;
  • menyebarkan ajaran yang melawan arus, bertentangan dengan tradisi yang lazim di masyarakatnya;
mereka berhasil dengan ajarannya, dan keberhasilan ini sudah diramalkan lebih dulu pula, dan semua itu dikatakannya karena Tuhanlah yang menolongnya.
Konsekwensi setelah meyakini autentitas tanda-tanda kenabian Muhammad
Setelah kita menguji autentitas tanda-tanda kenabian Muhammad dengan menggunakan segala piranti logika yang kita miliki, dan kita yakin bahwa itu asli berasal dari Tuhan, maka kita harus menerima apa adanya yang disebutkan oleh kitab Al-Quran maupun oleh hadits yang memang teruji autentis berasal dari Muhammad.
Dan ajaran Nabi Muhammad saw ini adalah satu-satunya ajaran autentis dari Allah, yang diturunkan kepada penutup para utusan, tidak tertuju ke satu bangsa saja,

Berpikir

otak manusia
Harun Yahya
Banyak yang beranggapan bahwa untuk “berpikir secara mendalam”, seseorang perlu memegang kepala dengan kedua telapak tangannya, dan menyendiri di sebuah ruangan yang sunyi, jauh dari keramaian dan segala urusan yang ada. Sungguh, mereka telah menganggap “berpikir secara mendalam” sebagai sesuatu yang memberatkan dan menyusahkan. Mereka berkesimpulan bahwa pekerjaan ini hanyalah untuk kalangan “filosof”.
Padahal, sebagaimana telah disebutkan dalam pendahuluan, Allah mewajibkan manusia untuk berpikir secara mendalam atau merenung. Allah berfirman bahwa Al-Qur’an diturunkan kepada manusia untuk dipikirkan atau direnungkan:
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu, penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan (merenungkan) ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran” (QS. Shaad, 38: 29).
Yang ditekankan di sini adalah bahwa setiap orang hendaknya berusaha secara ikhlas sekuat tenaga dalam meningkatkan kemampuan dan kedalaman berpikir. Sebaliknya, orang-orang yang tidak mau berusaha untuk berpikir mendalam akan terus-menerus hidup dalam kelalaian yang sangat. Kata kelalaian mengandung arti “ketidakpedulian (tetapi bukan melupakan), meninggalkan, dalam kekeliruan, tidak menghiraukan, dalam kecerobohan”. Kelalaian manusia yang tidak berpikir adalah akibat melupakan atau secara sengaja tidak menghiraukan tujuan penciptaan diri mereka serta kebenaran ajaran agama. Ini adalah jalan hidup yang sangat berbahaya yang dapat menghantarkan seseorang ke neraka. Berkenaan dengan hal tersebut, Allah memperingatkan manusia agar tidak termasuk dalam golongan orang-orang yang lalai:
“Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’raaf, 7: 205)
“Dan berilah mereka peringatan tentang hari penyesalan, (yaitu) ketika segala perkara telah diputus. Dan mereka dalam kelalaian dan mereka tidak (pula) beriman.” (QS. Maryam, 19: 39)
Dalam Al-Qur’an, Allah menyebutkan tentang mereka yang berpikir secara sadar, kemudian merenung dan pada akhirnya sampai kepada kebenaran yang menjadikan mereka takut kepada Allah. Sebaliknya, Allah juga menyatakan bahwa orang-orang yang mengikuti para pendahulu mereka secara taklid buta tanpa berpikir, ataupun hanya sekedar mengikuti kebiasaan yang ada, berada dalam kekeliruan. Ketika ditanya, para pengekor yang tidak mau berpikir tersebut akan menjawab bahwa mereka adalah orang-orang yang menjalankan agama dan beriman kepada Allah. Tetapi karena tidak berpikir, mereka sekedar melakukan ibadah dan aktifitas hidup tanpa disertai rasa takut kepada Allah. Mentalitas golongan ini sebagaimana digambarkan dalam Al-Qur’an:
Katakanlah: “Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.”
Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak ingat?”
Katakanlah: “Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya ‘Arsy yang besar?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.”
Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak bertakwa?” Katakanlah: “Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (adzab)-Nya, jika kamu mengetahui?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.”
Katakanlah: “(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu (disihir)?”
“Sebenarnya Kami telah membawa kebenaran kepada mereka, dan sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang berdusta.” (QS. Al-Mu’minuun, 23: 84-90)
Berpikir dapat membebaskan seseorang dari belenggu sihir Dalam ayat di atas, Allah bertanya kepada manusia, “…maka dari jalan manakah kamu ditipu (disihir)?. Kata disihir atau tersihir di sini mempunyai makna kelumpuhan mental atau akal yang menguasai manusia secara menyeluruh. Akal yang tidak digunakan untuk berpikir berarti bahwa akal tersebut telah lumpuh, penglihatan menjadi kabur, berperilaku sebagaimana seseorang yang tidak melihat kenyataan di depan matanya, sarana yang dimiliki untuk membedakan yang benar dari yang salah menjadi lemah. Ia tidak mampu memahami sebuah kebenaran yang sederhana sekalipun. Ia tidak dapat membangkitkan kesadarannya untuk memahami peristiwa-peristiwa luar biasa yang terjadi di sekitarnya. Ia tidak mampu melihat bagian-bagian rumit dari peristiwa-peristiwa yang ada. Apa yang menyebabkan masyarakat secara keseluruhan tenggelam dalam kehidupan yang melalaikan selama ribuan tahun serta menjauhkan diri dari berpikir sehingga seolah-olah telah menjadi sebuah tradisi adalah kelumpuhan akal ini.
Pengaruh sihir yang bersifat kolektif tersebut dapat dikiaskan sebagaimana berikut:
Dibawah permukaan bumi terdapat sebuah lapisan mendidih yang dinamakan magma, padahal kerak bumi sangatlah tipis. Tebal lapisan kerak bumi dibandingkan keseluruhan bumi adalah sebagaimana tebal kulit apel dibandingkan buah apel itu sendiri. Ini berarti bahwa magma yang membara tersebut demikian dekatnya dengan kita, dibawah telapak kaki kita!
Setiap orang mengetahui bahwa di bawah permukaan bumi ada lapisan yang mendidih dengan suhu yang sangat panas, tetapi manusia tidak terlalu memikirkannya. Hal ini dikarenakan para orang tua, sanak saudara, kerabat, teman, tetangga, penulis artikel di koran yang mereka baca, produser acara-acara TV dan professor mereka di universitas tidak juga memikirkannya.
Ijinkanlah kami mengajak anda berpikir sebentar tentang masalah ini. Anggaplah seseorang yang telah kehilangan ingatan berusaha untuk mengenal sekelilingnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada setiap orang di sekitarnya. Pertama-tama ia menanyakan tempat dimana ia berada. Apakah kira-kira yang akan muncul di benaknya apabila diberitahukan bahwa di bawah tempat dia berdiri terdapat sebuah bola api mendidih yang dapat memancar dan berhamburan dari permukaan bumi pada saat terjadi gempa yang hebat atau gunung meletus? Mari kita berbicara lebih jauh dan anggaplah orang ini telah diberitahu bahwa bumi tempat ia berada hanyalah sebuah planet kecil yang mengapung dalam ruang yang sangat luas, gelap dan hampa yang disebut ruang angkasa. Ruang angkasa ini memiliki potensi bahaya yang lebih besar dibandingkan materi bumi tersebut, misalnya: meteor-meteor dengan berat berton-ton yang bergerak dengan leluasa di dalamnya. Bukan tidak mungkin meteor-meteor tersebut bergerak ke arah bumi dan kemudian menabraknya.
Mustahil orang ini mampu untuk tidak berpikir sedetikpun ketika berada di tempat yang penuh dengan bahaya yang setiap saat mengancam jiwanya. Ia pun akan berpikir pula bagaimana mungkin manusia dapat hidup dalam sebuah planet yang sebenarnya senantiasa berada di ujung tanduk, sangat rapuh dan membahayakan nyawanya. Ia lalu sadar bahwa kondisi ini hanya terjadi karena adanya sebuah sistim yang sempurna tanpa cacat sedikitpun. Kendatipun bumi, tempat ia tinggal, memiliki bahaya yang luar biasa besarnya, namun padanya terdapat sistim keseimbangan yang sangat akurat yang mampu mencegah bahaya tersebut agar tidak menimpa manusia. Seseorang yang menyadari hal ini, memahami bahwa bumi dan segala makhluk di atasnya dapat melangsungkan kehidupan dengan selamat hanya dengan kehendak Allah, disebabkan oleh adanya keseimbangan alam yang sempurna dan tanpa cacat yang diciptakan-Nya.
Contoh di atas hanyalah satu diantara jutaan, atau bahkan trilyunan contoh-contoh yang hendaknya direnungkan oleh manusia. Di bawah ini satu lagi contoh yang mudah-mudahan membantu dalam memahami bagaimana “kondisi lalai” dapat mempengaruhi sarana berpikir manusia dan melumpuhkan kemampuan akalnya.
Manusia mengetahui bahwa kehidupan di dunia berlalu dan berakhir sangat cepat. Anehnya, masih saja mereka bertingkah laku seolah-olah mereka tidak akan pernah meninggalkan dunia. Mereka melakukan pekerjaan seakan-akan di dunia tidak ada kematian. Sungguh, ini adalah sebuah bentuk sihir atau mantra yang terwariskan secara turun-temurun. Keadaan ini berpengaruh sedemikian besarnya sehingga ketika ada yang berbicara tentang kematian, orang-orang dengan segera menghentikan topik tersebut karena takut kehilangan sihir yang selama ini membelenggu mereka dan tidak berani menghadapi kenyataan tersebut. Orang yang mengabiskan seluruh hidupnya untuk membeli rumah yang bagus, penginapan musim panas, mobil dan kemudian menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah yang bagus, tidak ingin berpikir bahwa pada suatu hari mereka akan mati dan tidak akan dapat membawa mobil, rumah, ataupun anak-anak beserta mereka. Akibatnya, daripada melakukan sesuatu untuk kehidupan yang hakiki setelah mati, mereka memilih untuk tidak berpikir tentang kematian.
Namun, cepat atau lambat setiap manusia pasti akan menemui ajalnya. Setelah itu, percaya atau tidak, setiap orang akan memulai sebuah kehidupan yang kekal. Apakah kehidupannya yang abadi tersebut berlangsung di surga atau di neraka, tergantung dari amal perbuatan selama hidupnya yang singkat di dunia. Karena hal ini adalah sebuah kebenaran yang pasti akan terjadi, maka satu-satunya alasan mengapa manusia bertingkah laku seolah-olah mati itu tidak ada adalah sihir yang telah menutup atau membelenggu mereka akibat tidak berpikir dan merenung.
Orang-orang yang tidak dapat membebaskan diri mereka dari sihir dengan cara berpikir, yang mengakibatkan mereka berada dalam kelalaian, akan melihat kebenaran dengan mata kepala mereka sendiri setelah mereka mati, sebagaimana yang diberitakan Allah kepada kita dalam Al-Qur’an :
“Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka Kami singkapkan daripadamu tutup (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam.” (QS. Qaaf, 50: 22)
Dalam ayat di atas penglihatan seseorang menjadi kabur akibat tidak mau berpikir, akan tetapi penglihatannya menjadi tajam setelah ia dibangkitkan dari alam kubur dan ketika mempertanggung jawabkan segala amal perbuatannya di akhirat.
Perlu digaris bawahi bahwa manusia mungkin saja membiarkan dirinya secara sengaja untuk dibelenggu oleh sihir tersebut. Mereka beranggapan bahwa dengan melakukan hal ini mereka akan hidup dengan tentram. Syukurlah bahwa ternyata sangat mudah bagi seseorang untuk merubah kondisi yang demikian serta melenyapkan kelumpuhan mental atau akalnya, sehingga ia dapat hidup dalam kesadaran untuk mengetahui kenyataan. Allah telah memberikan jalan keluar kepada manusia; manusia yang merenung dan berpikir akan mampu melepaskan diri dari belenggu sihir pada saat mereka masih di dunia. Selanjutnya, ia akan memahami tujuan dan makna yang hakiki dari segala peristiwa yang ada. Ia pun akan mampu memahami kebijaksanaan dari apapun yang Allah ciptakan setiap saat.
Seseorang dapat berpikir kapanpun dan dimanapun Berpikir tidaklah memerlukan waktu, tempat ataupun kondisi khusus. Seseorang dapat berpikir sambil berjalan di jalan raya, ketika pergi ke kantor, mengemudi mobil, bekerja di depan komputer, menghadiri pertemuan dengan rekan-rekan, melihat TV ataupun ketika sedang makan siang. Misalnya: di saat sedang mengemudi mobil, seseorang melihat ratusan orang berada di luar. Ketika menyaksikan mereka, ia terdorong untuk berpikir tentang berbagai macam hal. Dalam benaknya tergambar penampilan fisik dari ratusan orang yang sedang disaksikannya yang sama sekali berbeda satu sama lain. Tak satupun diantara mereka yang mirip dengan yang lain. Sungguh menakjubkan: kendatipun orang-orang ini memiliki anggota tubuh yang sama, misalnya sama-sama mempunyai mata, alis, bulu mata, tangan, lengan, kaki, mulut dan hidung; tetapi mereka terlihat sangat berbeda satu sama lain. Ketika berpikir sedikit mendalam, ia akan teringat bahwa:
Allah telah menciptakan bilyunan manusia selama ribuan tahun, semuanya berbeda satu dengan yang lain. Ini adalah bukti nyata tentang ke Maha Perkasaan dan ke Maha Besaran Allah.
Menyaksikan manusia yang sedang lalu lalang dan bergegas menuju tempat tujuan mereka masing-masing, dapat memunculkan beragam pikiran di benak seseorang. Ketika pertama kali memandang, muncul di pikirannya: manusia yang jumlahnya banyak ini terdiri atas individu-individu yang khas dan unik. Tiap individu memiliki dunia, keinginan, rencana, cara hidup, hal-hal yang membuatnya bahagia atau sedih, serta perasaannya sendiri. Secara umum, setiap manusia dilahirkan, tumbuh besar dan dewasa, mendapatkan pendidikan, mencari pekerjaan, bekerja, menikah, mempunyai anak, menyekolahkan dan menikahkan anak-anaknya, menjadi tua, menjadi nenek atau kakek dan pada akhirnya meninggal dunia. Dilihat dari sudut pandang ini, ternyata perjalanan hidup semua manusia tidaklah jauh berbeda; tidak terlalu penting apakah ia hidup di perkampungan di kota Istanbul atau di kota besar seperti Mexico, tidak ada bedanya sedikitpun. Semua orang suatu saat pasti akan mati, seratus tahun lagi mungkin tak satupun dari orang-orang tersebut yang akan masih hidup. Menyadari kenyataan ini, seseorang akan berpikir dan bertanya kepada dirinya sendiri: “Jika kita semua suatu hari akan mati, lalu apakah gerangan yang menyebabkan manusia bertingkah laku seakan-akan mereka tak akan pernah meninggalkan dunia ini? Seseorang yang akan mati sudah sepatutnya beramal secara sungguh-sungguh untuk kehidupannya setelah mati; tetapi mengapa hampir semua manusia berkelakuan seolah-olah hidup mereka di dunia tak akan pernah berakhir?”
Orang yang memikirkan hal-hal semacam ini lah yang dinamakan orang yang berpikir dan mencapai kesimpulan yang sangat bermakna dari apa yang ia pikirkan.
Sebagian besar manusia tidak berpikir tentang masalah kematian dan apa yang terjadi setelahnya. Ketika mendadak ditanya,”Apakah yang sedang anda pikirkan saat ini?”, maka akan terlihat bahwa mereka sedang memikirkan segala sesuatu yang sebenarnya tidak perlu untuk dipikirkan, sehingga tidak akan banyak manfaatnya bagi mereka. Namun, seseorang bisa juga “berpikir” hal-hal yang “bermakna”, “penuh hikmah” dan “penting” setiap saat semenjak bangun tidur hingga kembali ke tempat tidur, dan mengambil pelajaran ataupun kesimpulan dari apa yang dipikirkannya.
Dalam Al-Qur’an, Allah menyatakan bahwa orang-orang yang beriman memikirkan dan merenungkan secara mendalam segala kejadian yang ada dan mengambil pelajaran yang berguna dari apa yang mereka pikirkan.
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Aali ‘Imraan, 3: 190-191).
Ayat di atas menyatakan bahwa oleh karena orang-orang yang beriman adalah mereka yang berpikir, maka mereka mampu melihat hal-hal yang menakjubkan dari ciptaan Allah dan mengagungkan Kebesaran, Ilmu serta Kebijaksanaan Allah.
Berpikir dengan ikhlas sambil menghadapkan diri kepada Allah Agar sebuah perenungan menghasilkan manfaat dan seterusnya menghantarkan kepada sebuah kesimpulan yang benar, maka seseorang harus berpikir positif. Misalnya: seseorang melihat orang lain dengan penampilan fisik yang lebih baik dari dirinya. Ia lalu merasa dirinya rendah karena kekurangan yang ada pada fisiknya dibandingkan dengan orang tersebut yang tampak lebih rupawan. Atau ia merasa iri terhadap orang tersebut. Ini adalah pikiran yang tidak dikehendaki Allah. Jika ridha Allah yang dicari, maka seharusnya ia menganggap bagusnya bentuk rupa orang yang ia lihat sebagai wujud dari ciptaan Allah yang sempurna. Dengan melihat orang yang rupawan sebagai sebuah keindahan yang Allah ciptakan akan memberikannya kepuasan. Ia berdoa kepada Allah agar menambah keindahan orang tersebut di akhirat. Sedang untuk dirinya sendiri, ia juga meminta kepada Allah agar dikaruniai keindahan yang hakiki dan abadi di akhirat kelak. Hal serupa seringkali dialami oleh seorang hamba yang sedang diuji oleh Allah untuk mengetahui apakah dalam ujian tersebut ia menunjukkan perilaku serta pola pikir yang baik yang diridhai Allah atau sebaliknya.
Keberhasilan dalam menempuh ujian tersebut, yakni dalam melakukan perenungan ataupun proses berpikir yang mendatangkan kebahagiaan di akhirat, masih ditentukan oleh kemauannya dalam mengambil pelajaran atau peringatan dari apa yang ia renungkan. Karena itu, sangatlah ditekankan disini bahwa seseorang hendaknya selalu berpikir secara ikhlas sambil menghadapkan diri kepada Allah. Allah berfirman dalam Al-Qur’an :
“Dia lah yang memperlihatkan kepadamu tanda-tanda (kekuasaan)-Nya dan menurunkan untukmu rezki dari langit. Dan tiadalah mendapat pelajaran kecuali orang-orang yang kembali (kepada Allah).” (QS. Ghaafir, 40: 13).

Seberapa Tahankah Anda Terhadap Kritik?

kritik
Kalau disuruh mencela dan mengkritik orang lain, jujur saja, kita pasti ‘senang’ melakukannya kan? Tapi bagaimana kalau kita di posisi mereka? Dikritik, dicela, dianggap selalu salah…hmm… seberapa sih anda bisa tahan?
“Bagaimana kita bisa bekerja dengan baik, kalau kamu selalu datang terlambat?”
“Mestinya anda bisa meningkatkan kinerja. Masa’ dari dulu kualitas pekerjaan anda begini-begini saja?”
“Bagaimana kami mau bekerja dengan baik kalau anda sebagai manager tidak mampu memberikan fasilitas yang memadai ?”
“Sepertinya anda selalu saja meminta fasilitas lebih. Sekali-sekali, tunjukkan dong kualitas kerja yang seimbang!”
Suatu hari, anda mungkin akan mengeluarkan kritikan semacam itu kepada rekan kerja anda, termasuk bos anda. Tapi bukan tak mungkin, di hari lain, andalah yang akan menerima kritikan itu.
Kalau itu terjadi pada anda, bagaimana rasanya? dikecam, disindir atau dicerca di depan banyak orang, dalam rapat atau dalam perbincangan santai di kantor, bagaimanapun, bukan hal yang menyenangkan. Kesal, dongkol …bahkan marah? sangat mungkin terjadi.
Tetapi, seberapa dewasa anda untuk bisa mengakui bahwa kritik itu justru menjadi cambuk buat anda?
pernahkah anda sedikit berpikir positif di tengah-tengah kemarahan anda ketika sedang dikritik, bahwa sebenarnya kritik mencerminkan perhatian orang lain terhadap diri anda?
Kalau pikiran-pikiran baik itu hampir tak pernah terlintas di benak anda, maka mungkin beberapa tips berikut ini berguna supaya anda ‘tahan’ kritik.
Jangan terburu marah
Siapa sih yang tidak kesal atau marah kalau mendapat kritikan menohok? Tapi jujur saja, tiap orang berhak untuk melontarkan pendapat tentang anda, begitu pula sebaliknya.
Dan kenyataannya, objektifitas selalu lebih besar bisa kita dapat dari kaca mata orang lain. Sebab itu, tahanlah amarah anda ketika seseorang mengkritik anda.
Dengarkan saja, bahkan kalau perlu catat dan lalu renungkanlah di rumah dengan pikiran yang dingin. Dengan marah, tak ada yang bisa anda lakukan dan tak sedikitpun anda maju ke tingkat yang lebih baik.
Terbukalah untuk mengakui
Pernahkah anda lihat seseorang yang bebal —sudah dikritik berulang kali, tetapi tetap saja melakukan kesalahan yang sama?. Memang, ada banyak alasan mengapa orang tak mengacuhkan kritik orang lain terhadapnya.
Tetapi, salahsatu yang kerap menjadi sebab mengapa anda atau kita tak hirau dengan kritik, adalah karena kita menutup diri untuk secara terbuka mengakui bahwa kita salah. Atau minimal mengakui bahwa “Oh ya, dia benar. Itulah sebenarnya saya. Mestinya saya merubah sesuatu dalam diri saya,”.
Miranti marah ketika dikritik sering telat ke kantor sesudah jam makan siang. Padahal kenyataannya, ia kerap menghabiskan waktu istirahatnya bukan untuk makan siang, tapi untuk jalan-jalan ke mal. Ketika bos memerlukannya mengerjakan sesuatu, ia beberapa kali terlihat tidak ada di mejanya.
Dengan menyikapi kritik secara terbuka, anda akan terlihat lebih simpatik. Pahami ketidak cocokan orang lain terhadap perilaku atau sikap anda, sebagaimana kalau anda merasa tidak senang terhadap tindakan orang lain.
Dengan kata lain, bersikaplah empatif. Dengan demikian, anda akan cenderung bisa bersikap lebih tepat menghadapi kritik itu.
Mintalah dikritik secara spesifik
Belajarlah mengakui bahwa kemungkinan kritik yang dilontarkan orang lain terhadap diri anda itu benar. Dengan demikian, anda punya keinginan untuk belajar bagaimana orang lain ingin anda bersikap.
Tapi, ada baiknya anda meminta orang lain mengkritik anda lebih spesifik, agar anda benar-benar mengerti dimana sebenarnya masalah orang lain terhadap diri anda.
Sehingga, antara anda dan rekan yang mengkritik itu bisa saling memahami dengan jelas kondisi yang sebenarnya. Dengan begitu, akan lebih mudah jalan untuk memperbaiki apa yang tidak menyenangkan terhadap diri anda, di mata orang lain.
Jangan balas mengkritik.
Mensikapi kritik tidak berarti dengan balas mengkritik.Ketika kita dikritik, bersikaplah sungguh-sungguh akomodatif.
Membalas kritik dengan kritik lagi, sama saja menyulut perdebatan yang tidak perlu. Jangan biasakan diri anda menyukai debat kusir, mendramatisir kata-kata atau kondisi yang hanya akan memberi sinyal terhadap rekan kerja lain bahwa anda defensif.
Ibaratnya, kritik adalah api. Memadamkannya adalah dengan air, bukan dengan api lagi. Menghadapi rekan kerja, berusahalah selalu akomodatif dan hindari perdebatan yang tidak substantif.
Mintalah saran konstruktif
Kadang, kita ingin merubah diri tapi tak tahu bagaimana caranya. Mungkin rekan anda punya jalan keluarnya. Jadi mengapa tak bertanya padanya? Satu hal, sering kita malu kalau orang lain tahu betapa kita bodoh dan tak tahu harus berbuat apa. Tapi dengan mengakuinya dengan jujur dan jiwa besar, orang lain pasti akan dengan senang hati membantu anda.
Memperlihatkan bahwa anda membutuhkan orang lain untuk perbaikan diri anda secara positif, justru akan menimbulkan reaksi yang simpatik dari lingkungan sekeliling anda. Kalau anda tak bisa membantu diri anda, berikanlah kesempatan orang lain melakukannya untuk anda.

Bagaimana Memahami Ayat Allah di Alam

biji kurma
Dalam Alqur’an dinyatakan bahwa orang yang tidak beriman adalah mereka yang tidak menaruh kepedulian akan tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Allah di alam semesta ciptaan-Nya. Sebaliknya, ciri menonjol pada orang yang beriman adalah kemampuan memahami tanda-tanda kekuasaan sang Pencipta. Ia mengetahui bahwa semua ini diciptakan tidak dengan sia-sia, dan ia mampu memahami kesempurnaan ciptaan Allah di segala penjuru manapun. Pemahaman ini pada akhirnya menghantarkannya pada penyerahan diri, ketundukan dan rasa takut kepada-Nya. Ia adalah termasuk golongan yang berakal, yaitu “Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Ali ‘Imran: 190-191).
Di banyak ayat dalam Alqur’an, pernyataan seperti, “Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” dan “terdapat tanda-tanda (ayat) bagi orang-orang yang berakal, ” memberikan penegasan tentang pentingnya memikirkan secara mendalam tentang tanda-tanda kekuasaan Allah. Segala sesuatu yang kita saksikan dan rasakan di langit, di bumi dan segala sesuatu di antara keduanya adalah perwujudan dari kesempurnaan penciptaan oleh Allah, dan oleh karenanya menjadi bahan yang patut untuk direnungkan. Satu ayat berikut memberikan contoh akan nikmat Allah ini: “Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-tanaman; zaitun, korma, anggur dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (QS. An-Nahl:11).
Sebagaimana diketahui, pohon kurma tumbuh dari sebutir biji di dalam tanah. Berawal dari biji mungil ini, yang berukuran kurang dari satu sentimeter kubik, muncul sebuah pohon besar berukuran panjang 4-5 meter dengan berat ratusan kilogram. Satu-satunya sumber bahan baku yang dapat digunakan oleh biji ini ketika tumbuh dan berkembang membentuk wujud pohon besar ini adalah tanah tempat biji tersebut berada. Bagaimanakah sebutir biji mengetahui cara membentuk sebatang pohon? Bagaimana ia dapat berpikir untuk menguraikan dan memanfaatkan zat-zat di dalam tanah yang diperlukan untuk pembentukan kayu? Bagaimana ia dapat memperkirakan bentuk dan struktur yang diperlukan dalam membentuk pohon?
Pertanyaan yang terakhir ini sangatlah penting, sebab pohon yang pada akhirnya muncul dari biji tersebut bukanlah sekedar kayu gelondongan. Ia adalah makhluk hidup yang kompleks yang memiliki akar untuk menyerap zat-zat dari dalam tanah. Akar ini memiliki pembuluh yang mengangkut zat-zat ini dan yang memiliki cabang-cabang yang tersusun rapi sempurna. Seorang manusia akan mengalami kesulitan hanya untuk sekedar menggambar sebatang pohon. Sebaliknya sebutir biji yang tampak sederhana ini mampu membuat wujud yang sungguh sangat kompleks hanya dengan menggunakan zat-zat yang ada di dalam tanah. Pengkajian ini menyimpulkan bahwa sebutir biji ternyata sangatlah cerdas dan pintar, bahkan lebih jenius daripada kita. Mungkinkah sebutir biji memiliki kecerdasan dan daya ingat yang luar biasa? Tak diragukan lagi, pertanyaan ini memiliki satu jawaban: biji tersebut telah diciptakan oleh Dzat yang memiliki kemampuan membuat sebatang pohon. Dengan kata lain biji tersebut telah diprogram sejak awal keberadaannya.
Dalam sebuah ayat disebutkan: “Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir bijipun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkah tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)” (QS. Al-An’aam: 59).
Dalam ayat lain Allah menyatakan: ”Sesungguhnya Allah menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan. Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup. (Yang memiliki sifat-sifat) demikian ialah Allah, maka mengapa kamu masih berpaling?” QS. Al-An’am: 95).
Biji hanyalah satu dari banyak tanda-tanda kekuasaan Allah yang diciptakan-Nya di alam semesta. Ketika manusia mulai berpikir tidak hanya menggunakan akal, akan tetapi juga dengan hati mereka, dan kemudian bertanya pada diri mereka sendiri pertanyaan “mengapa” dan “bagaimana”, maka mereka akan sampai pada pemahaman bahwa seluruh alam semesta ini adalah bukti kekuasaan Allah SWT.

Definisi Hidup dan Mati

mati-suri-dalam-buzzle
Pengertian hidup menurut bahasa Arab adalah kebalikan dari mati (naqiidlul maut). Tanda-tanda kehidupan nampak dengan adanya kesadaran, kehendak, penginderaan, gerak, pernapasan, pertumbuhan, dan kebutuhan akan makanan.
Sedang pengertian mati dalam bahasa Arab adalah kebali­kan dari hidup (naqiidlul hayah). Dalam kitab Lisanul Arab dikatakan:
“Mati adalah kebalikan dari hidup.”
Jadi selama arti mati adalah kebalikan dari hidup, maka tanda-tanda kematian berarti merupakan kebalikan dari tanda-tanda kehidupan, yang nampak dengan hilangnya kesadaran dan kehendak, tiadanya penginderaan, gerak, dan pernapasan, serta berhentinya pertumbuhan dan kebutuhan akan makanan.
Ada beberapa ayat dan hadits yang menunjukkan bahwa manusia akan mati ketika ruhnya (nyawanya) ditahan dan ketika jiwanya dipegang oleh Allah SWT Sang Pencipta. Allah SWT berfirman:
“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya. Maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia lepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentu­kan.” (QS. Az Zumar: 42)
Imam Muslim meriwayatkan dari Ummu Salamah RA bahwa Rasulullah SAW:
“Sesungguhnya jika ruh sedang dicabut, maka mata akan men­gikutinya…”
Perlu dipahami bahwa tidak ada yang mengetahui hakekat jiwa dan ruh tersebut kecuali Allah SWT. Demikian pula masalah pemegangan/pencabutan serta pengembalian ruh dan jiwa kepada Allah SWT selaku pencipta keduanya, termasuk dalam perkara ghaib yang berada di luar jangkauan eksperimen ilmiah. Yang dapat diamati hanyalah pengaruh-pengaruh fenom­ena tersebut dalam tubuh fisik manusia,  berupa tanda-tanda yang menunjukkan terjadinya kematian.
Meskipun beberapa ayat dan hadits telah menunjukkan bahwa berhentinya kehidupan adalah dengan pencabutan ruh dan penahanan jiwa, akan tetapi ayat atau hadits seperti itu tidak menentukan titik waktu kapan terjadinya pencabutan ruh, penahanan jiwa, dan berhentinya kehidupan. Pemberitaan wahyu tentang hal tersebut, ialah bahwa ruh jika dicabut, akan diikuti oleh pandangan mata, sebagaimana yang diterang­kan dalam hadits di atas. Demikian pula terdapat keterangan dari sabda Rasulullah SAW:
“Jika kematian telah menghampiri kalian, maka pejamkanlah penglihatan kalian, sebab penglihatan akan mengikuti ruh (yang sedang dicabut)…” (HR. Ahmad, dari Syadad bin Aus RA)
Oleh karena itu, penentuan titik waktu berhentinya kehidupan berarti memerlukan penelaahaan terhadap manath (fakta yang menjadi objek penerapan hukum) pada seseorang yang akan ditetapkan telah mati dan telah berhenti kehidu­pannya. Penelaahan ini membutuhkan keahlian dan pengetahuan.
Sebelum ilmu-ilmu kedokteran maju dan sebelum adanya penelaahan organ tubuh secara teliti serta penemuan organ tubuh buatan, para dokter menganggap bahwa berhentinya jantung merupakan indikasi kematian manusia dan berhentinya kehidupannya. Namun kini mereka telah mengoreksi pendapat tersebut. Mereka kini mengatakan bahwa berhentinya detak jantung tidak selalu menunjukkan matinya manusia. Bahkan terkadang jantung sudah berhenti tetapi manusia tetap hidup. Begitu pula operasi jantung terbuka, mengharuskan penghen­tian jantung.
Mereka kini mengatakan bahwa indikator yang menunjukkan kematian seseorang dan berhentinya kehidupan padanya, adalah matinya batang otak (brain stem). Batang otak adalah semacam tangkai pada otak yang berbentuk penyangga atau tonggak, yang terletak pada pertengahan bagian akhir dari otak sebe­lah bawah, yang berhubungan dengan jaringan syaraf di leher. Di dalamnya terdapat jaringan syaraf yang jalin menjalin. Batang otak merupakan sirkuit yang menghubungkan otak dengan seluruh anggota tubuh dan dunia luar, yang berfungsi membawa stimulus penginderaan kepada otak dan membagikan seluruh respons yang dikeluarkan oleh otak untuk melaksanakan pesan-pesan otak.
Batang otak merupakan bagian otak yang berhenti ber­fungsi paling akhir, sebab matinya otak dan kulit/tutup otak terjadi sebelum matinya batang otak. Jika batang otak mati, matilah manusia dan berakhirlah kehidupannya secara total, meskipun jantungnya masih berdenyut, kedua paru-parunya masih bernapas seperti biasa, dan organ-organ lain masih berfungsi. Terkadang kematian batang otak terjadi sebelum berhentinya jantung, misalnya bila ada pukulan langsung pada otak, atau gegar otak, atau pemotongan batang otak. Dalam keadaan sakit, berhenti dan matinya jantung seseorang terja­di sebelum berhenti dan matinya otak.
Ada beberapa peristiwa yang membingungkan para dokter. Pernah tercatat ada otak yang sudah tak berfungsi, tetapi organ-organ tubuh lainnya masih berfungsi. Telah diberitakan  ada seorang wanita Finlandia yang dapat melahirkan seorang bayi, padahal dia telah mengalami koma total selama dua setengah bulan. Wanita tersebut koma karena benturan yang mengakibatkan gegar otak. Tapi anehnya, wanita itu baru meninggal dua hari setelah dia melahirkan bayinya. Dalam keadaan komanya, dia bernapas dengan alat pernapasan, diberi makan lewat tabung, dan diganti darahnya setiap minggu selama 10 minggu. Bayi yang dilahirkannya dalam keadaan sehat dan normal.
Demikian pendapat para dokter. Adapun para fuqaha, mereka tidak memutuskan terjadinya kematian, kecuali setelah adanya keyakinan akan datangnya kematian pada seseorang. Mereka telah menyebut tanda-tanda yang dijadikan bukti-bukti adanya kematian, di antaranya: nafas berhenti, mulut terbuka, mata terbelalak, pelipis cekung, hidung menguncup, pergelangan tangan merenggang, dan kedua telapak kaki lemas sehingga tidak dapat ditekuk ke atas.
Jika muncul keraguan (syak) akan kematian seseorang, misalnya jika jantungnya berhenti berdetak, atau pingsan, atau dalam keadaan koma total karena sesuatu sebab, maka dalam hal ini wajib menunggu untuk memastikan kematiannya. Kepastian kematiannya nampak dari adanya tanda-tanda kema­tian atau adanya perubahan bau dari orang tersebut.
Adapun hukum syara’ yang lebih kuat (raajih) dan menjadi dugaan kuat kami, ialah bahwa seseorang tidak dihukumi mati kecuali setelah ada keyakinan akan kematiannya, dengan adanya tanda-tanda yang menunjukkan kematian sebagaimana yang disebutkan oleh para fuqaha.
Kami berpendapat demikian karena kehidupan pada manusia adalah sesuatu yang diyakini adanya, dan tidak dihukumi telah hilang kecuali dengan suatu alasan yang yakin pula. Hilangnya kehidupan tidak boleh dihukumi dengan alasan yang meragukan (syak), sebab sesuatu yang yakin tidak dapat dihilangkan keberadaannya dengan alasan yang meragukan. Begitu pula hilangnya kehidupan tidak dapat diputuskan dengan alasan yang meragukan, karena prinsip asal untuk menentukan keberadaan sesuatu adalah tetapnya apa yang ada pada sesuatu yang sudah ada, sampai ada suatu alasan yang membatalkan keberadaannya secara yakin. Perlu diingat pula bahwa kematian adalah kebalikan dari kehidupan, sehingga harus nampak tanda-tanda yang berkebalikan dari tanda-tanda kehidupan, seperti hilangnya akal, kesadaran, dan penginde­raan, berhentinya nafas, serta tidak adanya kebutuhan akan makanan.
Atas dasar ini, maka pendapat para dokter bahwa matinya batang otak adalah tanda matinya manusia dan berhentinya kehidupannya secara medis, tidaklah sesuai dengan hukum syara’. Tidak berfungsinya batang otak dan seluruh organ tubuh yang vital –seperti jantung, paru-paru, hati– tidak dapat menjadi indikator kematian seseorang menurut hukum syara’. Yang menjadi indikator, adalah bila seluruh organ tubuh vital tidak berfungsi lagi, disertai dengan hilangnya seluruh tanda- tanda kehidupan pada seluruh seluruh organ-organ tersebut.
Terhadap orang yang batang otaknya telah mati, dengan sebagian organ tubuh vitalnya yang masih berfungsi –yang menurut para dokter telah dianggap mati menurut ilmu kedokteran– begitu pula seseorang yang ada dalam sakaratul maut –yang disebut para fuqaha, telah sampai pada keadaan “gerakan binatang yang disembelih”/harakatul madzbuh– yang tidak mampu lagi untuk melihat, berbicara, bergerak dengan sadar, serta sudah tidak mungkin lagi melanjutkan kehidupannya, maka dalam hal ini ada beberapa hukum syara’ yang berlaku padanya. Hukum yang terpenting adalah sebagai berikut:
  1. Orang tersebut tidak boleh mewarisi harta orang lain, dan tidak boleh pula mewariskan harta kepada orang lain, sementara dia masih dalam keadaan tersebut. Bahwa dia tidak mewarisi harta orang lain, karena dia telah kehilangan kehidupannya yang tetap, yang ditandai dengan adanya kesadaran, gerakan, dan kehendak. Sedang syarat untuk ahli waris supaya dapat menerima harta warisan, ialah bahwa dalam jiwanya harus terdapat kehidupan yang tetap. Namun demikian, dalam keadaan seperti ini harta warisan tidak dibagi sampai orang tersebut diyakini telah mati.
Maka dari itu, janin tidak dapat mewarisi kecuali jika dia telah lahir dan mempunyai tanda-tanda yang menunjukkan adanya kehidupan yang tetap padanya, seperti adanya tangisan saat bayi lahir, atau dia telah menguap. Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah dan Al Musawwir bin Makhramah RA, dari Rasulullah SAW, beliau bersabda:
“Anak kecil (bayi) tidak berhak mewarisi (harta warisan) hingga dia menangis dengan keras.” (HR. Ibnu Majah)
Adapun bahwa dia tidak dapat mewariskan, dan juga harta warisannya tidak boleh dibagi jika dia dalam keadaan seperti ini, karena syarat pemindahan kepemilikan harta dari pewaris kepada ahli warisnya, ialah adanya keyakinan akan kematian pewaris. Orang yang batang otaknya telah mati, sementara sebagian organ vitalnya masih berfungsi, atau orang yang berada dalam sakaratul maut dan sampai pada “gerakan bina­tang yang disembelih” (harakatul madzbuh), sebenarnya masih mempunyai sebagian tanda kehidupan. Kematiannya belum dapat diyakini. Karenanya, harta warisannya tidak boleh dibagikan, kecuali setelah adanya keyakinan akan kematiannya.
  1. Tindakan Kriminal Terhadapnya:
(a). Jika seseorang melakukan tindakan kriminal atas orang lain, lalu memotong batang otak orang tersebut, atau membuatnya berada dalam sakaratul maut, dan sampai pada “gerakan binatang yang disembelih” (harakatul madzbuh), serta bisa dipastikan bahwa dia akan mati dan tak akan pernah hidup lagi, kemudian datang orang kedua yang melanjutkan tindakan kriminal itu, maka yang dianggap pembunuh adalah orang pertama tadi. Sebab, dialah yang telah membuat korban menjadi tidak mungkin lagi melanjutkan kehidupannya. Karena itu, orang pertama itulah yang diqishash dan dihukum mati karena telah membunuh korban. Adapun orang kedua, dia tidak dianggap sebagai pembunuh. Dia tidak diqishash, dan tidak dihukum mati karena membunuh korban, tetapi dikenai sanksi berupa ta’zir, sebab dia telah melakukan pelanggaran terhadap kehormatan orang lain.
Tapi kalau orang pertama tadi tidak membuat korban sampai pada “gerakan binatang yang disembelih” (harakatul madzbuh), serta hanya melukainya sampai luka berat, sementara pada diri korban masih ada kehidupan yang tetap –ditandai dengan adanya kesadaran, penginderaan, gerakan sadar– lalu datang orang kedua dan membunuhnya, maka dalam hal ini orang kedualah yang dianggap sebagai pembunuh. Dia wajib diqishash dan dihukum mati karena membunuh orang tersebut. Adapun orang pertama, tidak dianggap pembunuh. Dia dikenai sanksi karena melanggar kehormatan orang lain. Dia wajib membayar diyat sesuai organ tubuh yang dirusak dari organ korban yang dianiaya.
(b). Jika orang yang dianiaya adalah seorang khalifah, atau orang yang dalam sakaratul maut/sampai pada “gerakan binatang yang disembelih” (harakatul madzbuh) adalah seorang khalifah, maka dalam hal ini tidak boleh diangkat khalifah lain untuk menggantikannya, kecuali setelah dipastikan kematiannya. Hal ini seperti yang pernah terjadi pada masa shahabat –radliyallahu ‘anhum– yaitu peristiwa yang terjadi pada Abu Bakar dan  Umar. Para shahabat tidak membai’at Umar, kecuali setelah mereka yakin akan kematian Abu Bakar. Begitu pula para Ahlusy Syura (enam orang shahabat yang ditunjuk Umar untuk bermusyawarah memilih khalifah) tidak melakukan pemilihan khalifah kecuali setelah mereka yakin akan kematian Umar. Adapun bila khalifah dalam keadaan sakaratul maut, atau sampai pada “gerakan binatang yang disembelih” (harakatul madzbuh), maka dia berhak –jika umat memintanya– untuk menunjuk penggantinya, dan dia mampu untuk melakukan penunjukan pengganti. Ini seperti yang pernah dilakukan Abu Bakar dan Umar dahulu tatkala mereka menunjuk penggantinya masing-masing. [ ]

Bocah-bocah Bunuh Diri

pisau
Oleh : Asro Kamal Rokan
Nazar Ali Julian berusia 13 tahun. Dia bukan orang terkenal. Di sekolah, Nazar dikenal rajin dan tergolong pandai. Dia juga anak baik, rajin ke masjid, shalat, dan puasa Senin-Kamis.
Belakangan ini, setelah kedua orang tuanya bercerai, Nazar berubah. Dia lebih suka tidur di rumah temannya, tidak di rumah bibinya di Kampung Ciwalen Pasar, Desa Ciwalen, Cianjur. Mungkin dia kesepian. Apalagi ibunya bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Arab Saudi sejak dua bulan lalu. Tiba-tiba, suatu sore, Nazar yang baik dan santun itu mengambil pisau dapur. Dia masuk ke kamar mandi dan menghunjamkan pisau tersebut berkali-kali ke perutnya. Nazar, remaja yang baru tumbuh, bunuh diri! Nazar jatuh dan terkapar berlumur darah.
Kondisinya kritis. Rumah sakit Cimacan tak mampu menanganinya sehingga dia dibawa ke RSU Cianjur. Untuk perawatan lebih intensif, Nazar yang belum sadarkan diri kemudian dibawa ke RS Hasan Sadikin, Bandung. Kisah Nazar, anak kedua dari tiga bersaudara, satu dari deretan panjang kasus-kasus bunuh diri. Kini, mari kita lihat data-data kasus bunuh diri dan percobaan bunuh diri yang dilakukan anak-anak usia belasan tahun –usia, yang lazimnya, kegembiraan meliputi mereka. Penuh tawa dan canda.
Nurdin bin Adas berusia 12 tahun. Warga Kampung Cikareo, Desa Salakuray, Garut, itu ditemukan tewas tergantung di plafon dapur rumah kakaknya. Nurdin diduga bunuh diri karena tak kuat menahan kerinduan kepada almarhumah ibunya.
Bambang Surono berusia 11 tahun. Oktober 2003, warga Semarang, Jawa Tengah, dikejutkan berita ditemukannya murid V SD itu tewas tergantung. Diduga Bambang bunuh diri. Kisah paling menghebohkan dan menggedor nurani masyarakat, terjadi Agustus 2003. Heryanto yang baru berusia 12 tahun, menggantung dirinya karena malu tak mampu membayar iuran Rp 2.500 untuk kegiatan di sekolahnya. Murid kelas VI sekolah dasar di Garut itu dapat diselamatkan. Kasus-kasus yang menimpa anak usia belasan tahun itu –mungkin tidak hanya Nazar, Bambang, Nurdin, dan Heryanto, karena tidak semua dapat terpantau– memperpanjang angka kasus bunuh diri atau percobaan bunuh diri.
Di Jakarta, menurut data Kepolisian Daerah Metro Jaya, pada 2003 saja 62 orang dilaporkan tewas akibat bunuh diri. Angka itu melonjak tiga kali dibanding 2002, yang mencapai 19 orang. Usia korban 16-65 tahun, sebagian besar lelaki. Mereka yang bunuh diri sebagian besar pengangguran, selebihnya pelajar, karyawan, pembantu rumah tangga, dan buruh. Umumnya, mereka mengalami tekanan ekonomi.
Angka bunuh diri di Bali juga mencengangkan. Menurut data dr Nyoman Hanati SpKj –panelis diskusi Mewaspadai Bunuh Diri, Suatu Tinjauan Psikiatrik di RS Sanglah, akhir tahun lalu– selama Oktober, November, dan Desember, tercatat 30 kasus bunuh diri, 20 orang di antaranya tewas. Catatan BeFrienders.org –lembaga yang khusus mencatat dan mengulas kasus bunuh diri– memperlihatkan kematian akibat bunuh diri di Amerika Serikat, lebih besar dibanding kematian akibat pembunuhan. Penyebab terbesar adalah depresi, tekanan ekonomi, dan krisis keluarga.
Ada banyak alasan orang untuk bunuh diri –jalan pintas yang sangat dimurkai Allah. Tapi, satu hal untuk direnungkan, kematian sia-sia, apalagi dilakukan anak-anak usia belasan tahun, memperlihatkan ada sesuatu yang tidak benar sedang terjadi. Orang tua, guru sekolah, pakar pendidikan, ulama, masyarakat, merenunglah! Lakukan sesuatu: Selamatkan mereka!! Hari ini, kita mungkin dapat tenang melihat anak-anak bermain, bercanda, dan tertawa riang. Besok, siapa tahu?
***

Jangan Biarkan Anak Kita Takut

siluet anak bapak
Perasaan takut adalah bagian dari fitrah anak. Tapi bila berlebihan, tak sehat bagi tumbuh kembang kepribadiannya. Jerit histeris tiba-tiba terdengar dari arah teras rumah. Seorang ibu yang sedang asyik memasak di dapur segera menuju sumber suara.
Sekonyong-konyong ia merasa kaget karena melihat anaknya yang sedang bermain di teras rumah menangis keras sembari menampakkan perubahan raut wajah pucat pasi. Si kecil segera menghampiri bunda tercinta dan menyembunyikan wajah cemasnya di balik gaun. Ternyata sang anak takut dengan cicak yang sedang menempel di pagar rumah.
Kejadian tersebut hanya sepenggal misal yang mungkin saja mungkin pernah terjadi di rumah kita. Takut adalah sifat atau tabiat alamiah yang ada pada setiap diri manusia. Ketakutan sebenarnya merupakan suatu keadaan yang dapat membantu individu melindungi dirinya dari suatu bahaya, sekaligus memberi pengalaman baru.
Pada sejumlah balita, wajar jika dihinggapi perasaan takut. Biasanya rasa takut si kecil ini masih sebatas pada hal-hal spesifik, seperti takut pada binatang atau serangga tertentu, takut suasana gelap, juga takut bertemu orang asing. Meski boleh dibilang wajar, tapi bila sudah berlebihan perasaan takut yang hinggap pada anak tak boleh dibiarkan. Sifat takut yang akut bisa berakibat buruk bagi perkembangan perilaku anak. Bisa jadi, bila tidak segera diatasi, ia akan mengalami fobia.
Leni Sinto Rini, Spi, konsultan psikologi pada klinik Aulad Sabita sebuah klinik khusus untuk perkembangan psikologi anak, melihat gejala ketakutan anak berawal dari pengkondisian lingkungan dekatnya. Pada dasarnya, anak itu mempunyai sifat pemberani, meski tidak semuanya begitu. Sering terjadi, ketakutan anak justru muncul karena “ditularkan” oleh orang tua, keluarga, nenek-kakek, bahkan saudara-saudaranya sendiri. Karena hendak menghentikan tangis anak, tanpa sadar orangtua sering membujuk anak dengan cara menakut-nakuti, misalnya dengan berujar, “Jangan menangis terus, nanti kamu digigit kucing.” Akibatnya, anak merasa terancam dan tidak aman setiap kali melihat kucing. Padahal umumnya, kucing hanya akan marah dan mencakar jika diganggu.
Ika Pambajeng, psikolog, menimpali bahwa seringkali dari dalam lingkungan rumah, anak banyak belajar tentang macam-macam rasa takut. Takut hantu misalnya, selalu menjadi momok anak kecil saat ia mengkonsumsi film-film misteri yang ditayangkan berbagai media elektronik sehari-hari tanpa pengarahan orangtua “Seharusnya, setiap orangtua menyadari, bahwa meski semula mereka ingin menghibur buah hati ini dengan mengimajinasikan cerita-cerita fantastis, tapi pola asuh demikian sangat membahayakan perkembangan karakter anak. Bisa jadi, karena sering ditakut-takuti, anak akan menjadi seorang penakut hantu hingga dewasa,” ujar Ika menyesalkan.
Saat anak dirundung rasa takut, ia akan mengekspresikannya melalui berbagai cara, seperti lewat tangisan, jeritan, bersembunyi atau tak mau lepas dari orangtua. Ada juga karena saking takutnya terhadap sesuatu, ia sampai terkencing-kencing. “Saat anak takut, hendaknya orangtua jangan memarahinya. Tapi, berikan ia ketenangan dan yakinkan kalau ia berada pada suasana yang aman dan damai. Yakinkanlah, tak ada yang perlu ditakuti. Sebab, saat anak merasa aman dengan dirinya sendiri maupun lingkungannya, hilanglah rasa takut tadi. Tentu saja ini perlu dukungan orang tua,” papar Leni Sinto Rini.
Leni Sinto Rini juga menyoroti perasaan takut anak pada sekolah. Sekolah adalah lingkungan baru bagi anak. Anak yang belum dikenalkan dengan lingkungan sekolah, biasanya mengalami rasa takut dan cemas saat pertama kali. Mestinya, sejak dini, jauh sebelum anak memasuki jenjang pendidikan formil, orangtua sudah memperkenalkan lingkungan sekolah kepada anak-anaknya. “Bisa saja itu dilakukan dengan cara memasukkannya terlebih dahulu pada pendidikan nonformil, seperti play group, Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA), Taman Kanak-kanak Islam Terpadu (TKIT), dan sebagainya. Cara lain, bisa juga orangtua mengkondisikannya di rumah dengan memberikan beberapa materi sekolah, seperti mengajarinya baca tulis dan memberikan tugas-tugas PR yang sama seperti di sekolah,” jelas Leni.

Korupsi itu Sebuah Pilihan?

korupsi
Oleh: Dr Hasanudin, Dosen di Universitas Tanjungpura; visiting researcher di Kumamoto University, Jepang
BANYAK upaya untuk menjelaskan sebab-sebab maraknya korupsi di Indonesia. Salah satu yang sering kita dengar bahwa korupsi itu terjadi akibat rendahnya gaji pegawai negeri. Gaji yang rendah itu tak cukup untuk menopang kehidupan seorang pegawai negeri secara layak, sehingga mereka melakukan korupsi untuk menutupi kekurangannya. Karena itu, membenahi kesejahteraan pegawai negeri adalah sebuah langkah utama dan pertama yang harus diambil pemerintah untuk memerangi korupsi.
Tak ada yang salah dalam cara berpikir seperti itu, setidaknya secara makro. Hanya saja, cara berpikir seperti itu punya efek sampingan yang cukup berbahaya, yaitu sikap apologis dari pelaku korupsi, terutama bila disosialisasikan dengan cara yang keliru. Kita ketahui bahwa korupsi demikian parah menggerogoti birokrasi kita di semua jenjang dan telah berlangsung sangat lama. Akibatnya korupsi sudah sangat akrab bagi sebagain besar pelaku birokrasi. Lalu, sejauh ini tak pernah ada gerakan yang benar-benar serius untuk memerangi korupsi, sehingga kampanye antikorupsi nyaris tak pernah dilaksanakan. Akibat kurangnya sosialisasi, banyak pihak yang tak lagi bisa membedakan dengan jelas tindakan apa saja yang masuk dalam kategori korupsi.
Dalam situasi yang demikian itu, analisis rendahnya gaji sebagai sebab korupsi adalah sebuah apologi yang tepat. Bila hal ini disosialisasikan secara luas, banyak orang akan mendapatkan bahan bakar untuk kendaraan apologinya. Artinya, akan banyak orang berpikir bahwa korupsi adalah sebuah pintu darurat selama pemerintah belum mampu menjamin kesejahteraan mereka. Padahal rendahnya gaji sebagai sebab korupsi adalah sesuatu yang masih bisa diperdebatkan. Perlu diperhatikan bahwa para pelaku korupsi itu tidak sekadar mencari tambahan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka, tapi jauh melebihi hal itu.
Meratanya korupsi di semua bidang dan tingkatan adalah sumber apologi lain. Banyak orang mengeluh bahwa dia terpaksa ikut terlibat korupsi karena semua orang terlibat. Keterlibatan semua orang itu membuat dia harus pula mengikutinya kalau tidak ingin dikucilkan atau bahkan dimusuhi. Namun, sebenarnya banyak juga yang lebih ringan pertimbangannya, kalau semua orang terlibat, mengapa pula saya perlu mengambil posisi ‘bodoh’ dengan tidak ikut terlibat. Dua jenis pemikiran apologis ini membuat korupsi itu jadi sebuah lingkaran setan.
Sikap apologis mungkin sebuah karakter dasar manusia. Manusia cenderung mencari pembenaran atas tindakannya dengan berbagai cara. Apologi itu bisa bersifat verbal, yaitu dengan mengungkapkannya ke orang-orang di sekitarnya. Atau nonverbal, yaitu dengan mengumandangkannya di dalam hati. Tujuannya untuk meyakinkan diri sendiri dan mendapat pengakuan bahwa tindakan yang dia lakukan tidak salah. Kalaupun disadari bahwa tindakan itu salah, apologi itu diharapkan mengurangi kadar kesalahan itu.
Mustofa Bisri dalam sebuah tulisannya sekitar sepuluh tahun lalu di sebuah media telah menjabarkan karakter apologis ini dengan bahasa yang unik. Argumen yang sahih untuk membenarkan sesuatu (tindakan), menurut Mustofa, biasa disebut dalil. Sedangkan alasan yang tidak kuat dan dicari-cari disebut dalih. Dua kata ini hanya berbeda pada huruf terakhirnya dan memiliki makna yang mirip, tapi sangat berbeda secara substantif. Pemikiran apologis tidak pernah bersandarkan pada dalil, melainkan pada dalih.
***
Dalam bahasa Stephen Convey yang dijabarkan dalam bukunya The Seven Habits of Highly Effective People para pemikir apologis ini disebut sebagai orang yang berada dalam ‘lingkaran kepedulian’. Dalam lingkaran ini orang percaya bahwa dia tidak bebas, dan sangat ditentukan oleh faktor-faktor di luar dirinya. Dan mereka akan berusaha mengumpulkan bukti-bukti untuk mendukung kepercayaannya itu. Mereka merasa jadi korban dan tidak bisa mengontrol dirinya, serta menyalahkan pihak lain atas masalah yang dia hadapi.
Masih menurut Convey, setiap kali kita berpikir bahwa masalahnya ada ‘di luar sana’, cara berpikir itulah masalah terbesarnya. Dengan begitu kita telah membiarkan diri kita dikontrol oleh elemen-elemen di luar kita. Dan, kita tidak akan pernah berubah selama situasi di luar sana tidak berubah, padahal kita sendiri juga tidak punya kuasa untuk mengubah sesuatu yang di luar tadi.
Pendekatan proaktif yang disarankan Convey adalah dengan melakukan perubahan dari dalam ke luar. Kita harus menjadi berbeda, dan dengan menjadi berbeda kita bahkan bisa membebaskan diri dari faktor ‘di luar sana’ yang mengontrol diri kita. Bahkan pada tingkat yang lebih tinggi kita bisa memengaruhi serta mengubahnya. Jadi, yang pertama harus berubah adalah diri kita sendiri, lalu perubahan dalam diri kita itu kita perluas lingkupnya ke orang-orang di sekitar kita, dan seterusnya. Di sini kita kemudian telah melakukan perpindahan paradigma ke ‘lingkaran pengaruh’.
Dengan konsep proaktif ini kita bisa membebaskan diri. Kalau kita selama ini telah terjerat dalam perilaku korupsi, maka kita bisa mulai berhenti dengan keyakinan bahwa sebab utama perilaku korup kita adalah diri kita sendiri, bukan gaji kita yang rendah. Kita harus mulai meyakinkan diri kita bahwa ada banyak cara selain korupsi untuk mengatasi ketidakmampuan gaji kita dalam mencukupi kebutuhan kita. Kita bisa mencontoh orang-orang bersih di sekitar kita, yang sebenarnya tidak terlalu sulit untuk ditemui.
Upaya memberantas korupsi dengan pendekatan hukum sejauh ini tidak menunjukkan hasil yang memadai karena tidak pernah dilakukan secara serius. Demikian pula pendekatan top-down. Kedua pendekatan ini memerlukan seorang pemimpin yang tidak saja bersih, tapi juga sangat kuat. Sayangnya, dalam waktu dekat ini sosok pemimpin yang demikian itu sukar diharapkan untuk muncul. Karena itu, pendekatan budaya dengan pola bottom-up menjadi sangat penting. Dan, pemikiran proaktif tadi adalah sebuah kunci dalam gerakan budaya ini.
Pemikiran ini mungkin akan dinilai normatif, naif, atau utopis. Tetapi, kiranya hal ini jauh lebih baik daripada terus-menerus memasok bahan bakar pemikiran apologis seperti diungkap di muka.